|
Pendiri Yayasan Darussa'adah Rowosari kendal Prof. H. Masykuri Abdillah Azizy (dua dari kiri) pada bedah buku "Mengelola Kemajemukan Umat Beragama" di Jakarta pada Rabu 15/8. |
Jakarta(Pinmas)—Sekjen Kementerian Agama H. Bahrul Hayat
mengatakan, kemajemukan bangsa harus dikelola sebagai kekuatan dan potensi yang
dapat didayagunakan untuk memajukan bangsa dan negara, bukan sebaliknya menjadi
sumber pemicu disintegrasi bangsa.
Karena itu, mengelola kemajemukan beragama mutlak diperlukan
agar eksistensi bangsa ini tak terancam dan cita-cita tujuan nasional dapat
diwujudkan, kata Bahrul Hayat saat bedah buku “Mengelola Kemajemukan Umat
Beragama” di Jakarta, Kamis.
Dalam pemaparan bedah buku tersebut, tampil sebagai pembedah
Prof. Dr. Masykuri Abdillah dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah -yang
juga Pendiri Yayasan Darussa’adah
Rowosari Kendal.red-, Sekretaris Eksekutif dan Direktur Konferensi Waligreja (KWI) Romo Edy
Purwanto, Pr. Bertindak sebagai moderator Syafii Mufi.
Sekjen Kemenag menjelaskan, Indonesia secara faktual adalah
negara majemuk, baik dari segi suku bangsa, agama, budaya, bahasa maupun
karakteristik geografis. Di sisi lain, Indonesia pun mengalami berbagai konflik
sosial keagamaan baik intra maupun antarumat beragama. Jika dilihat dari sumber
terjadinya konflik umat beragama dapat dikategorikan dalam figa faktor:
eksogen, endogen dan relasional.
Globalisasi telah melahirkan tatanan sosial baru dengan
indentitas yang menyebar dan masyarakat yang “cair”,kata Bahrul.
Konflik internasional di berbagai negara, persoalan
kemiskinan dan kesenjangan ekonomi dan pendidikan, hubungan lintas agama tak
lagi merupakan antarbangsa tetapi merupakan hubungan antarmanusia terlepas dari
batas geografis. Belum lagi universalisasi HAM, termasuk kebebasan berekspresi dan
terorisme internasional.
Semua itu merupakan pengaruh perkembangan lingkungan
strategis global.
Pokok persoalan dari konflik, menurut dia, akibat lemahnya
solidaritas sosial berdasarkan: peraturan perundangan, norma kesepakatan
sosial, norma agama dan tata nilai kultural.
Lemahnya ikatan kebangsaan umat beragama yang menempatkan
kepentingan kelompok agama di atas kepentingan bangsa. Belum tumbuhnya sikap
multikultural yang mengakui, menghargai dan bekerja sama. Masih adanya ketidakadilan
sosial, politik dan ekonomi antarumat beragama. Termasuk belum optimalnmya
pengembangan dan pemberdayaan berbagai institusi sosial keagaman. Solusi
Dalam buku setebal 232 halaman dengan editor Drs. H.
Zainuddin Daulay MA, kemudian Bahrul juga memberikan solusi terhadap persoalan
yang dihadapi melalui pendekatan berlapis didukung kebijakan dan strategi yang
tepat. Sikap saling mengakui dan menyadari pluralisme amat penting. Termasuk
pula sikap saling menghormati (toleransi) dan sikap saling kerja sama
(resiprokal).
Prof. Masykuri dalam menanggapi penulis menyatakan bahwa
diperlukan antisipasi dini agar suatu sengketa atau ketegangan antarumat
beragama tidak berkembang menjadi konflik dan kekerasan. Melibatkan tokoh
agama, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)
maupun aparat sangat penting.
Perlu peningkatan dialog dan kerja sama antarumat agama, baik
di bidang ekonomi mapun sosial. Para tokoh agama perlu mensosialisasikan etika
protes, termasuk terhadap pelanggaran regulasi dalam pendirian rumah ibadah,
yakni dengan cara bijaksana dan tidak dengan kekerasan, katanya.
Sementara Edy Purwanto dari KWI minta agar gagasan dari buku tersebut
perlu dituangkan dalam alur dan pola pemikiran yang jelas. Secara keseluruhan,
ia mengapresiasi penulis buku tersebut yang meski punya waktu sedikit masih mau
meluangkan pikirannya untuk memberi kontribusi terhadap kerukunan umat. Buku
ini pantas dibaca oleh para pemangku kepentingan: pengambil kebijakan di
Kemenag, majelis agama, Ormas Keagamaan, dan lainnya.(ant/ess)
diolah dari www.kemenag.go.id